DINASTI SAFAWIYAH (1501 M - 1736 M)
Gambar 1: Bendera Dinasti Safawiyah
A. Asal Usul
Dinasti Safawiyah berasal dari sebuah gerakan tarekat yang didirikan oleh Safiuddin di Ardabil, sebuah kota di Azarbaijan. Nama Safawiyah berasal dari nama sang pendiri tarekat ini. Tarekat ini didirikan oleh Safiuddin setelah kematian gurunya Syekh Tajuddin Ibrahim pada tahun 1301 M.[1] P.M. Holt dalam buku “The Cambridge History of Islam” menyebutkan dalam waktu yang singkat tarekat ini berhasil berkembang pesat di Persia, Syria dan Asia Kecil.[2]
Pada masa Imam Junaid, kakek Syah Isma’il I, menjadi syekh keempat Tarekat Safawiyah yaitu pada 1447 M, tarekat Safawiyah dikembangkan dari lembaga tasawuf yang mempunyai kecenderungan kepada hal-hal yang bersifat ukhrawi (mengabaikan urusan dunia) menjadi aliran agama yang mempunyai kecenderungan kepada politik dan kekuasaan.[3]
P.M. Holt dalam buku “The Cambridge History of Islam” juga menyebutkan bahwa pada tahun 1501 M pasukan Qizilbash (Pasukan baret merah) yang dibentuk oleh Isma’il I berhasil mengalahkan Al-Koyunlu dalam peperangan di dekat Nakhcivan dan berhasil menaklukkan Tibriz, pusat kekuasaan Al-Koyunlu. Di kota ini Isma’il I memproklamirkan berdirinya kerajaan Safawiyah dan menobatkan dirinya sebagai raja pertamanya.[4]
B. Para Penguasa
Sepanjang sejarah Dinasti Safawiyah, struktur pemerintahannya mengalami tiga fase perkembangan, ketiga fase tersebut ialah:
1. Periode kekuasaan Syah Ismail I sampai dengan akhir pemerintahan Muhammad Khudabanda (1501 M – 1588 M)
2. Sepanjang kekuasaan Syah Abbas I (1588 M – 1629 M)
3. Sejak masa pemerintahan Syah Safi sampai dengan jatuhnya Dinasti Safawiyah ke tangan Afghan (1629 M – 1722 M)
C. Wilayah Kekuasaan
Gambar 2: Wilayah Kekuasaan Dinasti Safawiyah
Pada masa pemerintahan Ismail, Dinasti Safawiyah berhasil mengembangkan wilayah kekuasaannya sampai ke daerah Nazandaran, Gurgan, Yazd, Diyar Bakr, Baghdad, Sirwan dan Khurasan hingga meliputi ke daerah bulan sabit subur (fortile crescent).
Kemudian pada masa pemerintajan Abbas I, ia meluaskan wilayahnya dengan merebut kembali daerah yang telah lepas dari Dinasti Safawiyah pada masa pemerintahan sebelumnya maupun mencari daerah baru. Abbas I berhasil menguasai Herat pada 1598, Marw dan Balkh. Kemudian Abbas I mulai menyerang kerajaan Turki Usmani dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwani, Ganja, Baghdad, Nakhchivan, Erivan dan Tiflis. Kemudian pada 1622 Abbas I berhasil menguasai kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.[6]
D. Hasil Peradaban
1. Kemajuan dalam Bidang Politik
Pengertian kemajuan dalam bidang politik di sini adalah terwujudnya integritas wilayah negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
Abbas I merupakan pemimpin yang beranggapan bahwa kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kekuatan militernya. Abbas mengganti pasukan militernya Qizilbash yang pada masa sebelumnya menjadi tulang punggung Dinasti Safawiyah digantikan dengan kekuatan reguler yang diambil dari tawanan perang bekas orang-orang kristen di Georgia dan Circhasia yang sudah di mulai di bawa ke persia sejak Syah Tahmasp, mereka di beri gelar Ghulam. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang militan dan dipersenjatai secara modern. Sebagai pimpinannya, Syah Abbas mengangkat Allahwardi Khan , salah seorang dari Ghulam itu.
Dalam membangun Ghulam, Syah Abbas mendapat dukungan dari dua orang Inggris, yaitu Sir Antoni Sherli dan saudaranya, Sir Rodet Sherli mereka yang mengajari tentara Safawiyah untuk membuat meriam sebagai perlengkapan tentara yang modern, kedatangan kedua orang Inggris itu oleh sebagian sejarawan dipandang sebagai upaya strategi Inggris untuk melemahkan pengaruh Turki Usmani di Eropa yang menjadi musuh besar Inggris saat itu. Bagaimanapun dengan bantuan dua orang Inggris itu, Syah Abbas memiliki tentara yang dapat diandalkan. Hal ini terbukti sekitar 3000 Ghulam dijadikan “Cakrabirawa” oleh Syah sendiri.[7]
2. Kemajuan dalam Bidang Ekonomi
Kemajuan ekonomi pada masa itu bermula dengan penguasaan atas kepulauan Hurmuz dan pelabuhan Gumrun yang diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan demikian Dinasti Safawiyah menguasai jalur perdagangan antara Barat dan Timur yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Prancis yang sepenuhnya menjadi milik Dinasti Safawiyah. Di samping sektor perdagangan, Dinasti Safawiyah juga mengalami kemajuan dalam bidang pertanian, terutama hasil pertanian dari daerah Bulan Sabit yang sangat subur (Fertille Crescent).[8]
3. Kemajuan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan
Sepanjang sejarah Islam Persia di kenal sebagai bangsa yang telah memiliki peradaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa Dinasti Safawiyah tradisi keilmuan ini terus berlanjut. Sejumlah ilmuwan yang selalu hadir di majelis istana yaitu Baha al-Din al-Syaerazi seorang generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-Din al-Syaerazi seorang filosof, dan Muhammad al-Baqir Ibn Muhammad Damad yang merupakan filosof, ahli sejarah, teolog dan seorang yang pernah mengadakan observasi tentang kehidupan lebah. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Dinasti Safawiyah dapat dikatakan lebih berhasil daripada dua kerajaan besar Islam lainnya, seperti: Turki Usmani dan Mughal pada masa yang bersamaan.
4. Kemajuan dalam Bidang Fisik Tata Kota dan Seni
Ibu kota Dinasti Safawiyah ialah kota yang sangat indah. Pembangunan besar-besaran dilakukan Syah Abbas terhadap ibu kotanya, Isfahan. Pada saat ia mangkat di Isfahan terdapat 162 buah masjid, 48 buah perguruan tinggi, 1082 buah losmen yang luas untuk penginapan tamu-tamu Khalifah, dan 237 unit pemandian umum.
Di antaranya yang paling terkenal adalah masjid Syah yang mulai dibangun sejak 1611 M, masjid Lutfullah yang dibangun pada 1603 M. Syah Abbas juga membangun Istana megah yang disebut Chihil Sutun atau Istana Empat Puluh Tiang, sebuah jembatan besar di atas sungai Zende Rud dan Taman bunga empat penjuru.[9]
Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmaps I, raja Ismail I pada tahun 1522 M dengan cara membawa seorang pelukis timur ke Tibriz yang bernama Bizhad.[10]
5. Kemajuan dalam Bidang Filsafat
Pada masa Dinasti Safawiyah perkembangan filsafat dan sains bangkit kembali. Perkembangan baru ini erat kaitannya dengan aliran Syiah yang dijadikan agama resmi negara.
Syiah dua belas memiliki dua golongan, yakni akbadi dan ushuli. Mereka berbeda dalam memahami ajaran agama. Akbari lebih cenderung kepada hasil Ijtihad para mujtahid Syiah yang sudah mapan. Sedangkan Ushuli mengambil langsung sumber ajaran agama, al-Qur’an dan Sunnah. Golongan Ushuli inilah yang paling berperan pada masa Dinasti Safawiyah.
Menurut Hodgson yang dikutip Ajid Thohir dalam bukunya “Perkembangan Peradaban Dunia Islam” ada dua aliran filsafat yang berkembang pada masa Dinasti Safawi.
a. Aliran filsafat Paripatetik sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Aristoteles dan al-Farabi.
b. Filsafat Isyraqi yang dibawa oleh Suhrawandi pada abad XII.
Salah satu filsuf yang terkenal pada masa Dinasti Safawiyah adalah Mir Damad alias Muhammad Baqir Damad yang dianggap sebagai guru ketiga (muammal tsalits) sesudah Aristoteles dan al-Farabi.
Tokoh filsafat lainnya adalah Mulla Shadra atau Shadr al-Din al-Syirazi yang menurut Amir Ali, ia adalah seorang dialektikus yang paling cakap di zamannya.[11]
E. Faktor-faktor Keruntuhan
K. Ali[12] menyebutkan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran Dinasti Safawiyah, di antaranya ialah:
1. Ketidakcakapan sejumlah raja setelah Abbas I hingga pada akhirnya membawa kepada kehancuran.
2. Konflik militer yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani.
3. Tidak adanya semangat perjuangan yang tinggi.
Selain beberapa hal di atas, faktor lain yang menyebabkan kemunduran hingga keruntuhan Dinasti Safawiyah adalah:
1. Mobilisasi yang dilakukan oleh para ulama dalam hal politik, sehingga pemerintahan kurang dipercaya oleh masyarakat.
2. Tidak berhasilnya kebijakan pemusatan pemerintahan dan ekonomi, khususnya setelah masa pemerintahan Abbas I.
3. Kebiasaan buruk para penguasa, seperti minum-minuman keras, main perempuan, dan lain sebagainya.
4. Melemahnya sistem pemerintahan dan pertahanan serta keamanan Dinasti Safawiyah pada masa Syah Safi sehingga Qandarah dan Baghdad jatuh ke tangan Usmani dan Mogul India.
5. Terjadinya konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga kerajaan.
6. Pemaksaan faham Syi'ah yang menyebabkan orang-orang Sunni memberontak melalui suku Afgan.
[1] K. Ali, Sejarah Peradaban Islam (Tarikh Pramodern), Terjemahan Ghufron A. Mas’adi, Cet. 4. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2003, hlm. 518
[3] Nurul Fajri M.R., dkk, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, jilid 2, PT Ichtiar Bar Van Hoeve, 2002, hlm. 265
[4] K. Ali, loc. cit, hlm. 520
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2000, hlm. 143
[7] Ajid Tohir, Perkembangan Peradaban di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2004, cet. 1, hlm. 174-175
[8] Badri Yatim, op. cit, hlm. 144
[9] Ajid Tohir, op.cit, hlm. 178
[10] Bari Yatim, loc. cit, hlm. 145
[11] Ajid Tohir, op. cit, hlm. 176-177
[12] K. Ali, op. cit, hlm. 528



Komentar
Posting Komentar