MENGARUNGI SAMUDERA KEBERAGAMAN
(Gambar: Para Peserta PID)
“Dari lahirnya manusia itu sudah berbeda, berbeda dari segi wajah, mata, kulit, ada yang hitam ada yang putih, fitrahnya kita (manusia) memang dilahirkan untuk berbeda, jadi kenapa kita harus mempermasalahkan perbedaan itu”
Garbha Virya – Suhu Wihara Mahavira Graha Pusat Jakarta
Subuh, Sabtu 27 September 2014 seorang teman membangunkan saya dari tidur yang lelap. Rencananya hari ini (27/09/14) kami akan mengikuti Peace in Diversity Program. Peace in Diversity (PID) adalah sebuah program kegiatan yang mempertemukan para muda-mudi dari kalangan agama ataupun kepercayaan yang berbeda, seperti Islam, Kristen, Budha, Penganut Kepercayaan, dan yang lainnya. Di sini mereka bisa bertukar pikiran ataupun diskusi satu sama lain untuk mempererat tali silaturrahim mereka, dan memperkuat rasa saling menghargai antar umat beragama yang berbeda. Sehingga semangat “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang terdapat pada sila pertama Pancasila dan semangat Bineka Tunggal Ika—meskipun berbeda-beda tapi tetap satu—bisa terus terjaga.
PID ini sebuah program kegiatan yang dilaksanakan atas kerja sama Mission 21 dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia yang didukung oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) bekerja sama dengan The Wahid Institute.
Rencananya pada program PID hari ini saya dan peserta lainnya akan melakukan kunjungan ke beberapa tempat ibadah seperti Gereja Katedral Jakarta, Mesjid Istiqlal Jakarta, dan Wihara Mahavira Graha Pusat Jakarta; dan diakhiri dengan workshop penulisan di kantor Sekretariat ICRP di jalan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat. Namun sebelum melakukan beberapa kunjungan tersebut, pihak panitia memberikan instruksi untuk berkumpul di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Cawang, Jakarta Timur.
Tepat pukul 9 pagi, setelah melakukan registrasi ulang, saya dan peserta lainnya bersiap untuk memulai kunjungan pertama kami ke Gereja Katedral Jakarta. Selama lebih kurang 30 menit perjalanan dari UKI menuju Gereja Katedral Jakarta, panitia membuka acara dengan pemaparan rangkaian kegiatan PID dan dilanjutkan dengan memperkenalkan diri masing-masing, baik panitia maupun peserta serta pengalaman peserta mengikuti kegiatan semisal PID. Dari perkenalan diri masing-masing peserta, ternyata banyak peserta termasuk saya yang baru pertama kali mengikuti rangkaian kegiatan semisal PID, namun ada juga peserta yang telah memiliki pengalaman mengikuti rangkaian kegiatan semisal PID.
Setiba di Gereja Katedral Jakarta, peserta disambut dengan kemegahan gereja yang berdiri kokoh dan keramahan dari para pengurus gereja yang waktu itu diwakili oleh Bu Susi dan rekannya. Sekitar 1 jam lebih berada di Gereja Katedral Jakarta, peserta diberikan pemaparan singkat tentang gereja, sejarah gereja maupun rangkaian kegiatan yang dilaksanakan di gereja tersebut dan semua itu disambut dengan baik oleh para peserta.
Dari pemaparan yang disampaikan diketahui bahwa Gereja Katedral Jakarta yang bernama De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming (Santa Maria Pelindung Diangkat ke Surga) ini, telah berdiri secara resmi lebih dari 1 abad (1901-2014). Dan dari banyaknya pemaparan yang disampaikan, salah satu yang menarik perhatian saya adalah tentang katedral. Pada awalnya saya mengira kata “katedral” hanyalah sebuah nama yang dilekatkan pada gereja saja. Namun setelah adanya pemaparan tentang gereja katedral, pada akhirnya saya mengetahui bahwa katedral adalah nama untuk altar tempat duduk uskup yang agung, dan katedral ini tidak dimiliki oleh semua gereja, hanya gereja yang memiliki uskup saja yang disebut dengan gereja katedral.
Terlepas dari semua itu, hal yang membuat saya mengacungkan jempol adalah pemaparan tentang bagaimana kedekatan dan sosial pihak Gereja Katedral dengan pihak Mesjid Istiqlal yang berlokasi tepat di di depan Gereja Katedral. Meskipun katedral dan Istiqlal merupakan dua tempat ibadah bagi dua agama yang berbeda, tidak menjadikan keduanya bermusuhan. Bahkan mereka dengan senang hati saling berbagi, saling mengikat satu sama lain. Pihak katedral mengungkapkan dengan ramah bagaimana mereka mengizinkan orang-orang yang hendak beribadah ke Istiqlal khususnya pada dua hari raya besar, yang pastinya dipenuhi oleh orang-orang yang beribadah, untuk memarkirkan mobilnya di halaman perkarangan gereja, dan begitu pun sebaliknya.
Selanjutnya, setelah melakukan kunjungan ke Gereja Katedral Jakarta, para peserta diajak untuk mengunjungi Mesjid Istiqlal, mesjid terbesar di Asia Tenggara yang tepat berada di seberang jalan di depan Gereja Katedral. Tak jauh berbeda dengan sebelumnya, ketika berada di Mesjid Istiqlal, kepada para peserta juga dipaparkan tentang profil Mesjid Istiqlal serta rangkaian kegiatan yang sering dilaksanakan di sana. Di sana pun keramahan yang menjadi jiwa seorang muslim diperlihatkan kepada para peserta.
Banyak hal menarik yang dipaparkan tentang Mesjid yang merupakan mesjid negara Republik Indonesia (RI) yang diprakarsai langsung oleh Ir. Soekarno, Presiden pertama RI ini. Di antaranya, Presiden RI yang melakukan sayembara maket Mesjid Istiqlal melalui surat kabar dan berbagai media lainnya dan langsung disambut hangat oleh para arsitek yang ada pada saat itu. Setelah pihak dewan juri sayembara melalukan penilaian, pada akhirnya Fredrerich Silaban seorang kristen Protestan memenangkan sayembara tersebut.
Tidak hanya itu, desain mesjid ini pun berbeda dari mesjid yang umumnya kita lihat di Indonesia. Hampir semua bangunan di mesjid ini dilapisi dengan marmer, mulai dari lantai, tiang, tembok, dan yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar mesjid ini bisa bertahan dari berbagai bencana baik alami maupun buatan. Pernah suatu kali mesjid ini menjadi target pengeboman oleh teroris, meskipun begitu mesjid tetap berdiri dengan kokohnya, karena memang sudah dirancang untuk bertahan selama ratusan tahun.
Saat berkeliling di mesjid, kami melihat sebuah bedug yang sangat besar, yang menurut pemaparan dari pihak pengurus mesjid, bedug tersebut merupakan bedug terbesar yang ada di Indonesia, atau mungkin dunia. Bedug yang digunakan untuk menandai datangnya waktu shalat ini menjadi salah satu khas masyarakat muslim di Indonesia. Penggunaan bedug ini dahulunya diprakarsai oleh Sunan Kalijaga salah seorang dari wali sogo (Sembilan wali) yang membantu penyebaran agama Islam di pulau Jawa.
Wihara Mahavira Graha Pusat Jakarta menjadi tempat ibadah terakhir yang kami kunjungi hari ini. ketika baru sampai di Wihara Mahavira Graha Pusat Jakarta, kami dijamu dengan makanan vegetarian, menu makanan khas penganut Budha. Hal yang membuat saya salut waktu itu tidak hanya dengan jamuan makanannya, tapi ketika baru saja sampai di lokasi, para peserta yang beragama islam ditawarkan untuk melaksanakan shalat zuhur terlebih dahulu. Ketika mendapatkan tawaran tersebut, saya sedikit bingung, karena waktu sampai di sana saya tidak melihat mesjid ataupun musholla di sekitar daerah tersebut yang bisa digunakan untuk shalat. Dan tatkala kami memasuki wihara, ternyata di sana ada musholla kecil yang bisa digunakan untuk shalat bagi orang-orang yang beragama islam yang berkunjung ke sana. Ini menunjukkan bahwa sikap toleransi dan keharmonisan beragama yang ditunjukkan mereka sangat tinggi.
Saat pemaparan profil wihara Mahavira Graha Pusat Jakarta oleh Garbha Virya yang merupakan salah satu Suhu di Wihara tersebut, ia membuka kalimatnya dengan sebuah pernyataan bahwa “Dari lahirnya manusia itu sudah berbeda, berbeda dari segi wajah, mata, kulit, ada yang hitam ada yang putih, fitrahnya kita (manusia) memang dilahirkan untuk berbeda, jadi kenapa kita harus mempermasalahkan perbedaan itu”. Kalimatnya terdengar biasa, namun memiliki makna yang sangat dalam. Dalam kalimatnya ia menyampaikan bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang harus kita jadikan sebagai akar permusuhan kita satu sama lain, namun perbedaan itu adalah suatu hal yang harus kita sadari sebagai fitrah kita yang dengan itu kita tidak perlu bertengkar apalagi sampai membawa kepada permusuhan yang membawa kematian. Dan setelah pemaparan tentang profil tersebut, kami diajak untuk berkeliling melihat-lihat isi dari wihara.
Setelah dari Wihara Mahavira Graha Pusat Jakarta, para peserta langsung diajak ke kantor sekretariat ICRP yang berada di Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat untuk mengikuti workshop penulisan. Selama workshop penulisan kami diajarkan kiat-kiat menulis yang baik oleh para panitia, yang nantinya diharapkan bisa membantu para peserta untuk meningkatkan kemampuan dan hasrat mereka untuk menulis. Kemudian acara ditutup dengan evaluasi kegiatan selama seharian penuh serta pemaparan agenda kegiatan untuk esok hari oleh pihak panitia dan acara pun dibubarkan sehingga para peserta bisa kembali pulang ke rumah masing-masing.
Selama perjalanan pulang ke rumah, saya mencoba untuk merenungi kegiatan yang saya ikuti selama seharian ini. Jika kita sudah menyadari keberagaman yang ada pada diri kita, dan berusaha untuk mengenal yang lain, tentunya semangat kebinekaan yang telah dicanangkan ketika Indonesia merdeka bukan lagi sebagai sebuah impian dari bangsa Indonesia, tapi betul-betul menjadi sebuah ciri khas bangsa Indonesia. Sebenarnya kita hanya perlu untuk membuka hati kita dan mau untuk mencoba menyelami dan mengarungi Samudera keberagaman yang ada pada diri kita, sehingga cita-cita kebinekaan kita bisa terwujud. []
Komentar
Posting Komentar